Thursday, March 13, 2008

Dakwah Semakin Getir


DAKWAH SEMAKIN GETIR




Nampaknya dakwah kian hari kian bertambah berat, bak mendaki ke atas bukit. “falagtanamal aqobah” demikian menurut al-Quran. Fenomena ini sungguh nyata, kita sadari atau tidak,kita setujui atau tidak, kenyataan tersebut tak bisa dihindari.

Namun dakwah semakin hari semakin naik daun. Agaknya penindasan yang bertambah keji justeru menambah para pengikut kebenaran. Barangkali ini adalah bukti karena al-Quran menyebutkan “waquljaa alhaqqowa zaahaaqol baatil innal baatiila kaana zuhuuqo” (sesungguhnya kebenaran itu akan menang dan kebathilan itu akan terkalahkan)

Kita memang tak harus meminta pertolongan kepada “budak-budak kebathilan”.

Acap kali tergambar fenomena harokah islamiyah (pergerakan islam) secara terbalik. Misal, gerakan perlawanan intifadhah mendapatkan banyak pengikut lantaran morat-maritnya perekenomian Palestina. Padahal hakikat sesungguhnya intifadhah sejajar dengan kekejian bangsa yahudi yang telah merampas tanah leluhur kaum muslimin Palestina. Begitu pula dengan al-Qaeda, jamaah islamiyah dan gerakan islam lainnya. Kesengsaraan yang dirasakan masyarakat Afganistan dan Irak pun tak ada bedanya.

Ironisnya lagi hampir bisa dipastikan sangat sedikit negara yang mau menolong kaum pembela al-haq tersebut. Negeri kita ini misalnya. Namun demikian mereka tidak pernah surut. Berbagai kegetiran dan cobaan mereka sadari sebagai sunatullah. Dan setiap da’i, akitivisa dakwah dan pembela agama ini dan atau yang senantiasa membuktikan keberpihakannya kepada agama suci ini harus dapat menjalaninya dengan penuh kesadaran. Yusuf al Qardhawi menyebutkan bahwa sabar adalah prinsip gerakan islam. Inilah yang harus dipahami. Gerakan ofensif guna mengambil alih al-Quds (Jerussalem) dari tangan tentara salib dibawah Guy de lu Signan di Hittin 1187 yang sama sekali tidak “mengusik” penduduk sipil non muslim yang tinggal di daerah tersebut adalah salah satu lakon sejarah yang bukanlah suatu anomali (keanehan) melainkan realitas dari pembumian konsep-konsep ajaran Islam. Lain halnya dengan “kerendahan hati” yang AS berikan selama ini kepada masyarakat sipil di Afganistan, Iran dna negeri “terkoyak” lainnya.

Sebenarnya pentas sejarh telah melakonkan berpuluh-puluh kali atau bahkan beratus-ratus kali kisah agung kebesaran dan kearifan peradapan islam semacam ini. Tapi barangkali perekam-perekam sejarah tak cukup jeli dalam menangkap moment-moment kesejarahan seperti ini. Mereka (non muslim) tampak tidak peduli atau sengaja tidak peduli denagn kisah “beradap” seperti ini.

Sebenarnya apa yang tengah terjadi? Menggelikan. Bagaimana tidak, banyak sejarah yang nampak begitu absud, bnayak fakta yang terdistorsi, al-haq jadi al bathil. Tangan tangan panjanag “gurita raksasa” abad ini mencengkeram kita begitu kuat. Salah satu tangannya yang perkasa adalah tekhnologi informasi. Dengannya mereka mampu mengemas durian busuk menajdi kado istimewa. Sanggup mendudukkan si innocent man di depan Mahkamah Dunia sebagai terdakwa. Bisa menebar bermacam isu lalu membuktikannya. Bahkan mereka pun piawai dalam memfaktakan yang fiksi dan memfiksikan yang fakta.

Jika kita mau menelusuri sejarah lebih dalam lagi akan tersingkaplah konspirasi busuk dengan adegan panjang drama tanpa babak yang berjudul penindasan.

Adakah yang salah dnegan harokah islamiyah kita? Ataukah krisis keteladanan telah menggerogoti bangunan kokoh perjuangan kita?

Kehilangan sistem kekhalifahan dan atau figur pemimpin tampaknya berdampak besar terhadap kewibawaan umat islam di mata ummat lainnya di dunia. Dan sampai saat ini dunia islammseolah sebuah gambaran sebuah dunia yang bercerai berai, tercabik-cabik dan terkotak-kotak dalam sistem power block, terjebak dalam konsep nation state dan chauvinistis yang memecah belah. Ghawzul fikri lengkap dengan segala atribut sepertinya benar-benar telah menggelapkan dunia kita, hingga kita kelimpungan mencari singgasana yang hilang yang ternyata telah ditahtai oleh makhluk-makhluk kuffar.

Alangkah naifnya jika sebuah tonggak dunia (Amerika) yang disatu sisi lantang berkoar tentang HAM, demokrasi, keadilan dan kemerdekaan. Sementara sisi lainnya, muncul sikap ambivalen, ia menekan,memperkosa kedaulatan lalu membunuh. Sebuah sikap yang menelanjangi habis wajah sendiri, teramat hipokrit dan licik. Kini sang super power melanglang buana sendirian. Dengan arogannya dia meproklamirkan diri sebagai “pemimpin dan hakim dunia”. Bebas menentukan merah hitamnya dunia. Dan kita umat islam, kesulitan melihat figur pemimpin yang benar-benar sadar akan amanah yang diembannya. Tak seperti yang kita lihat pada panglima Abu Ubaidah, Shalahuddin al Ayyubi, Umar bin Abdul Aziz, Umar bin Khattab, Abu Bakar apalagi Rasulallah SAW.

Mereka inilah figur-figur teladan, tokoh agung bagi umat manusia. Yang mau memberi makan, pakaian, dan uang kepada seorang pengemis yahudi yang duduk di muka mesjid seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab. Atau pemimpin yang bertipe “Mr. Clean” yang membersihkan seluruh keluarganya dari harta baitul maal karena jiwa introspektif (an nafsul lawwamah)nya seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Adakah sikap yang bisa kita analogikan dengan sifat-sifat di atas kita temui pada tokoh-tokoh abad modern sekarang, mereka-mereka yang tengah memimpin percaturan dunia yang makin chaos ini dengan pseudo professionnya?


Wallahu’alam bishowab

Dalam hormatku pada nya

Seperti pada Nya

No comments: